Jumat, 06 April 2012

Lampung Ram Nihan Ajo

A.Masyarakat adat Lampung Pepadun

Masyarakat beradat Pepadun terdiri dari:
1. Abung Siwo Mego (Unyai, Unyi, Subing, Uban, Anak Tuha, Kunang, Beliyuk, Selagai, Nyerupa)
Masyarakat Abung mendiami tujuh wilayah adat: Kotabumi, Seputih Timur, Sukadana, Labuhan   Maringgai, Jabung, Gunung Sugih, dan Terbanggi.
2. Mego Pak Tulangbawang (Puyang Umpu, Puyang Bulan, Puyang Aji, Puyang Tegamoan)
Masyarakat Tulangbawang mendiami empat wilayah adat: Menggala, Mesuji, Panaragan, dan   Wiralaga.
3. Pubian Telu Suku (Minak Patih Tuha atau Suku Manyarakat, Minak Demang Lanca atau Suku        Tambapupus, Minak Handak, Hulu atau Suku Bukujadi). Masyarakat Pubian mendiami delapan wilayah adat: Tanjungkarang, Balau, Bukujadi, Tegineneng, Seputih Barat, Padang
Ratu, Gedungtataan, dan Pugung.Sungkay-WayKanan Buay Lima (Pemuka, Bahuga, Semenguk, Baradatu, Barasakti, yaitu lima keturunan Raja Tijang Jungur)
4. Masyarakat Sungkay-WayKanan mendiami sembilan wilayah adat: Negeri Besar, Ketapang, Pakuan Ratu, Sungkay, Bunga
Mayang, Belambangan Umpu, Baradatu, Bahuga, dan Kasui.

B. Masyarakat adat Lampung Sebatin

Masyarakat beradat Sebatin mendiami sebelas wilayah adat: Kalianda, Teluk Betung, Padang Cermin, Cukuh Balak, Way Lima, Talang Padang, Kota Agung, Semaka, Belalau, Liwa, dan Ranau, sebagian daerah komering, sebagian daerah Banten (Ci Koneng), Dan Lain-lain. Sebatin yang juga dinamai Peminggir karena mereka berada di pinggir pantai barat dan selatan, terdiri dari:
1. Peminggir Paksi Pak (Buay Belunguh, Buay Pernong, Buay Nyerupa, Buay Lapah di Way)
2. Komering-Kayuagung, yang sekarang termasuk Provinsi Sumatera Selatan

Diperkirakan bahwa yang pertama kali mendirikan adat Pepadun adalah masyarakat Abung yang ada disekitar abad ke 17 masehi di zaman seba Banten. Pada abad ke 18 masehi, adat Pepadun berkembang pula di daerah Way Kanan, Tulang Bawang dan Way Seputih (Pubian). Kemudian pada permulaan abad ke 19 masehi, adat Pepadun disempurnakan dengan masyarakat kebuaian inti dan kebuaian-kebuaian tambahan (gabungan). Bentuk-bentuk penyempurnaan itu melahirkan apa yang dinamakan Abung Siwou Migou (Abung Siwo Mego), Megou Pak Tulang Bawang dan Pubian Telu Suku.
Masyarakat yang menganut adat tidak Pepadun, yakni yang melaksanakan adat musyawarahnya tanpa menggunakan kursi Pepadun. Karena mereka sebagian besar berdiam di tepi pantai, maka di sebut adat Pesisir. Suku Lampung beradat Saibatin (Peminggir) secara garis besarnya terdiri atas: Masyarakat adat Peminggir, Melinting Rajabasa, masyarakat adat Peminggir Teluk, masyarakat adat Peminggir Semangka, masyarakat adat Peminggir Skala Brak dan masyarakat adat Peminggir Komering. Masyarakat adat Peminggir ini sukar untuk diperinci sebagaimana masyarakat Pepadun, sebab di setiap daerah kebatinan terlalu banyak campuran asal keturunannya.

Bila di lihat dari penyebaran masyarakatnya, daerah adat dapat dibedakan bahwa daerah adat Pepadun berada di antara Kota Tanjungkarang sampai Giham (Belambangan Umpu), Way Kanan menurut rel kereta api, pantai laut Jawa sampai Bukit Barisan sebelah barat. Sedangkan daerah adat Peminggir ada di sepanjang pantai selatan hingga ke barat dan ke utara sampai ke Way Komering.

SEJARAH PERKEMBANGAN HUKUM ADAT LAMPUNG PESISIR BANDAR LIMA – KECAMATAN CUKUHBALAK

GEOGRAFIS
Di ujung selatan Sumatera, sepanjang pantainya terjal, diselang-selingi oleh lembah sempit yang dilingkari bukit-bukit, hijau penuh tanaman: cengkeh, dan beraneka pohon buah-buahan. Lautnya tenang bagai kaca, bak talam emas yang digelar bila sore tiba. Bukit-bukit itu nampak biru dari kejauhan. dan di bawah bukit-bukit itu sungai-sungai yang berliku, jernih airnya, subur tanahnya.
Di sanalah sekelompok manusia telah memilih tempat tinggal, hidup dengan anugerah Tuhan yang melimpah, tanah subur dengan musim buah-buah yang silih berganti. Mereka bercocok tanam dan bertani. Pada waktu-waktu senggang menanti panen, ada yang berdagang dan tak sedikit yang menjadi nelayan, memancing dan menjala. Dan Tuhan tak henti-hentinya mengucurkan rezeki; musim buah berganti musim cengkeh, lalu menyusul musim-musim: ikan, siput, rebon, udang dan cumi.
Kampung-kampung itu memanjang dari hilir ke mudik mengikuti lekuk-liku tepi-tepi sungai berlembah sempit, Kumpulan kampung-kampung itu berupa marga dan dari beberapa marga terciptalah satu pemerintahan Kecamatan.
Kecamatan ini telah berdiri sejak zaman Belanda “Kecamatan Cukuhbalak”. Batas-batas wilayahnya:
1. Sebelah barat berbatasan dengan Batubalai/wilayah Kecamatan Kotaagung.
2. Sebelah timur dengan Lengkukai/wilayah Kecamatan Padangcermin.
3. Sebelah selatan dengan lautan Indonesia dan sebuah pulau, Pulau Tabuan yang masih termasuk wilayah Kecamatan Cukuhbalak.
4. Sebelah utara dengan Tanjungsiom batas kecamatan Pardasuka.
Wilayah kecamatan yang merupakan daerah marga ini terdiri dari beberapa kampung. Marga merupakan daerah adat yang dikepalai oleh Kepala Adat yang menguasai beberapa suku adat (sabatin), Sabatin dikepalai oleh Penyimbang Batin yang membawahii beberapa kelompok yang lebih kecil (suku), sedang kampung dikepalai oleh Kepala Kampung selaku pemerintah Republik Indonesia, di bawah Camat.

Dalam wilayah Kecamatan Cukuhbalak terdiri dari lima 5 Marga:
1. Makhga Putih, sebagai ibukota Kecamatan Cukuhbalak terletak di Putihdoh. Marga putih terdiri dari 7 kampung: Putihdoh, Tanjungbetuah, Banjakhmanis, Pampangan, Kacamakhga, Sawangbalak, dan Kakhangbuah.
2. Makhga Pakhtiwi, terdiri dari 10 kampung, yaitu: Sukapadang, Kejadian Lom/Luah, Gedung, Banjakhnegekhi, Sukakhaja, Tanjungkhaja, Tanjungjati, Waikhilau dan Tengokh.
3. Makhga Kelumbayan, terdiri dari 7 kampung: Negekhikhatu, Pekonsusuk, Pekonunggak, Penyandingan, Paku, Napal, Lengkukai.
4. Makhga Badak, hanya terdiri dari satu kampung Badak, karena penduduknya banyak berpindah ke tempat lain (ke Wayawi Kedondong dll).
5. Makhga Limau, terdiri dari 7 kampung, yaitu; Kukhipan, Padangkhatu, Banjakhagung, Tegineneng, Pekonampai, Antakhbekhak, Tanjungsiom.

Jumlah penduduk wilayah ini dalam sensus sampai dengan tahun 1978, sekitar 30155 jiwa, terdiri dari 10288 jiwa laki-laki dewasa, dan 10124 jiwa perempuan dewasa, 4980 anak laki-laki, dan 4699 anak perempuan. Jumlah kampung sebanyak 32 buah membawahi 75 kepala suku yang terdiri dari 5388 kepala keluarga. Agama penduduk asli 100% beragama Islam.
Catatan: Sejak otonomi daerah digalakkan, beberapa marga dikembangkan menjadi Kecamatan, sehingga kini telah berdiri: Kecamatan Kelumbayan, Kecamatan Limau, Kecamatan Pertiwi dan Kecamatan Pulau, dan Kecamatan Cukuhbalak yang beribukota di Putihdoh.

SEJARAH

Asal-usul penduduk kecamatan Cukuhbalak serta sejarah berdirinya kampung-kampung di wilayah kebandaran Lima Kecamatan Cukuhbalak adalah diawali oleh menyebarnya para bangsawan dari reruntuhan Kerajaan Besar “Skalabkhak” yang terletak di sekitar Liwa Lampung Utara, terkenal dengan sebutan “Tanohunggak”. Kerajaan Skalabkhak yang besar di Lampung di samping Kerajaan Talangbawang itu belum didapat data yang pasti kapan dan bagaimana lenyapnya. Diperkirakan adalah akibat perluasan Kerajaan Sriwijaya yang berkedudukan di Palembang.
Bekas-bekas dan pengaruh kerajaan ini masih sangat berkesan di kalangan penduduk suku Lampung, karena kerajaan ini tidak lenyap begitu saja, melainkan berganti menjadi kerajaan-kerajaan kecil yang berbentuk keratuan (kedatuan) sebagai sumber adat yang masih berlaku sampai sekarang di daerah Lampung.

Keratuan-keratuan yang terkenal antara lain:
1. Keratuan Puncak, ibukotanya sekitar Sangukpatcak di lingkungan ibukota Skalabkhak.
2. Keratuan Pugung, ibukotanya Pugung Mengandung Sukadana, Lampung Tengah, Lampung Selatan, dan sampai daerah-daerah sekitar Tanjungtua.
3. Keratuan Balau, ibokotanya terletak di Gunung Jualang di daerah Timur Kota Tanjungkarang.
4. Keratuan Pemanggilan Keratuan ini ibukotanya di sekitar hilir kota Martapura (sekarang termasuk daerah/wilayah Propinsi Sumatera Selatan). Keturunannya tersebar di sekitar Sungai Komering (Sumatera Selatan), Krue, Liwa, dan sekitarnya (Lampung Barat), Teluk Semangka (Tenggamus), Telukbetung, Kalianda (Lampung Selatan). Meskipun keturunannya tersebar dan terpencar-pencar namun mempunyai satu rumpun bahasa yaitu bahasa Lampung Pesisir. sebab itu, ada persamaan antara bahasa Komering dan bahasa Lampung Pesisir utara di Krue dan sekitarnya serta Lampung Pesisir selatan di wilayah Lampung Selatan dan sekitarnya.

Dilihat dari sejarahnya, Cukuhbalak termasuk Keratuan Pemanggilan karena terletak di daerah Teluk Semangka, begitu juga bahasanya memakai bahasa Lampung Pesisir (Lampung Pesesekh).
Dalam Kecamatan Cukuhbalak terdapat lima Kebandaran terkenal dengan sebutan “Pesesekhlima” atau “Bandakhlima” karena kebandaran ini berjumlah Lima dan terletak di pesisir (di pantai lautan).

PENGARUH BUDAYA ISLAM TERHADAP ADAT ISTIADAT DAN TRADISI PADA MASYARAKAT LAMPUNG PESISIR DI MARGA WAY LIMA DAN CUKUH BALAK



1. Adat Ngarak Maju

Dalam adat perkawinan pada Masyarakat Adat Lampung Pesisir dikenal istilah “Ngarak Maju”. Ngarak menurut istilah adalah Arak-arakan, sedangkan Maju adalah Pengantin. Maka “Ngarak Maju” adalah Adat arak-arakan pengantin Lampung yang dilakukan di tempat pihak pengantin pria, sebagai pertanda bahwa si pria telah resmi menikahi dengan si wanita (pengantin perempuan). Dalam tradisi ngarak tersebut unsur yang terpengaruh Budaya Islam adalah penggunaan alat musik Rabana sebagai alat musik pengiring arak-arakan dan pelantunan Salawat dan Syair Arab yang dikenal dengan istilah Zikir Lama dan Zikir Baru. Demikian juga pada saat pengantin telah tiba di rumah pihak pengantin pria (setelah diarak), maka pihak keluarga si Pria menyambut rombongan Arakan tersebut dengan melantunkan Syair Arab “Lail” (ciptaan Imam Maliki).
2. Adat Manjau Pedom
Adat Manjau Pedom adalah Adat bertamu untuk menginap di rumah pihak wanita oleh pihak keluarga pria yang dilakukan setelah prosesi ijab kabul. Hal yang ditekankan dalam Adat Manjau Pedom ini adalah menjalin hubungan silaturahmi (yang dianjurkan Islam) antara keluarga pihak mempelai, sehingga terjalin hubungan saudara yang kuat dan saling tolong menolong antar kedua keluarga.

3. Peraturan Bujang Gadis

Dalam peraturan bujang gadis dikenal istilah “Cempala Khua Belas”, dimana hal ini mengatur tentang pergaulan bujang gadis dan barang siapa yang melanggar aturan Adat tersebut maka akan diberi sangsi. Dalam aturan tersebut tersurat akan adanya pengaruh hukum Islam yang mengatur hubungan pria dan wanita yang bukan muhrim, aturan pergaulan hidup bermasyarakat, serta aturan kesopanan dan kesusilaan.

4. Alat Musik dan Kesenian

Pemakaian alat musik dan kesenian yang terpengaruh Budaya Islam adalah Alat musik Rabana, Gitar Tunggal, Gitar Gambus dan Piul (Biola). Alat tersebut digunakan pada saat prosesi adat atau pun pada saat pertunjukan kesenian pada pesta perkawinan. Sehingga kita kenal hingga saat ini kesenian Orkes Gambus Lampung yang telah muncul sejak tahun 1970-an.
5. Acara Betamat

“Betamat” berasal dari kata tamat (selesai), tetapi menurut makna adalah membaca sebagian ayat-ayat Alquran (Juz Amma) pada malam hari yang biasanya dilakukan pada saat Khitanan dan Perkawinan. Dalam acara Betamat juga dilakukan pengarakan dari tempat guru ngaji anak-anak atau bujang gadis yang akan melakukan betamat.

6. Acara Khatam Al-Quraan
Acara Khataman Al-Quraan biasanya dilakukan oleh beberapa orang (biasanya kaum bapak dan bujang) di rumah kerabat seseorang yang meninggal, yang biasnya dilakukan (dapat diselesaikan) selama 7 hari disamping acara Tahlilan. Pada zaman dulu, Acara Khataman Al-Quraan dilakukan juga pada saat Acara Sebambangan, yang dilakukan di rumah pihak laki-laki setelah wanita yang dibambangkan menginap 1 hari di rumah kepala adat. Acara ini dilakukan kira-kira sampai 3 – 7 hari oleh bujang-gadis, menungggu keluarga pihak wanita menyusul untuk memberi persetujuan kepada calon mempelai.
7. Acara Marhabanan
Acara Marhabanan adalah acara syukuran dengan membaca Kitab Bersanzi yang dilakukan oleh kaum bapak atau bujang dalam memberi nama seorang bayi. Acara ini dilakukan biasanya pada malam hari di rumah keluarga atau kakek si bayi. Disamping memberi nama seorang bayi, dilakukan juga pemberian kenamongan bayi tersebut (Baca: Adat Namong dalam Masyarakat Adat Way Lima).
8. Tradisi Masyarakat yang lain

Dalam masyarakat banyak tradisi yang masih bertahan dilakukan karena masih dianggap baik dan tidak bertentangan dengan agama, antara lain:

1) Ruahan bersedekah dengan mengundang tetangga dekat guna memanjatkan do’a bagi para saudara mu’min dan muslim yang telah meninggal dunia serta untuk muslimi dan mukminin yang masih hidup, terutama mendoakan para arwah keluarga si pengundang, karena itu disebut “ruahan” (berasal dari kata (ruh). Biasanya dalam undangan tersebut dihidangkan sedikit makanan dan minuman.
2) Tabuh Beduk. Beduk sangat besar fungsinya bagi kehidupan masyarakat di kampung. Beduk tidak boleh dibunyikan sembarang waktu, karena akan menimbulkan kericuhan masyarakat bila dibunyikan tidak sesuai dengan kepentingannya.
Macam-macam tabuh beduk itu antara lain:
a. Tabuh beduk untuk menunjukkan waktu shalat, di bunyikan pada tiap waktu shalat (5 waktu).
b. Tabuh beduk pada waktu shalat Jum’at, di bunyikan 2 x, yaitu jam 11 untuk persiapan, dan 11.30 untuk segera berkumpul.
c. Tabuh beduk untuk menunjukkan waktu shalat tarawih, khusus bulan Ramadhan, di bunyikan dengan nada khusus, sekitar jam 7 sampai jam 7.30 malam.
d. Tabuh beduk bulangekh, di bunyikan sehari menjelang bulan Ramadhan.
e. Tabuh beduk menjelang lebaran bulan Romadhon (I’dul Fitri).
“BudayaLampung merupakan perpaduan antara 3 Budaya Dunia yaitu Budaya Cina, Budaya India dan Budaya Arab”
Sumber: iwatbatin.blogspot.com

ATURAN PEMAKAIAN WARNA KEBUNG TIKHAI DAN PERLENGKAPAN ADAT LAINNYA DALAM ADAT ISTIADAT LAMPUNG PESISIR

Dalam adat lampung terutama pesisir atau saibatin, pemakaian simbol2 warna di atur pada saat tayuhan (pesta) adat baik saat pengangkatan sebatin, perkawinan atau acara khitanan.
Berikut merupakan peraturan adat yg harus di laksanakan mengenai pemakaian warna, baik di kebung tikhai (kain penutup dinding) atau pun kain di langit2 (kawikh), sarung kasur-bantal, penutup talam, katil dll.
1. WARNA PUTIH, digunakan oleh sebatin. Jika sebatin melakukan acara tayuhan, maka warna kebung tikhai banyak menggunakan warna putih dismping warna kuning dan merah. Hal tsbt karena menunjukan tempat penghejongan/duduk kebumian sebatin2 yg di undang. Sdkn warna kuning utk para raja jukkuan dan merah utk para khadin dan minak, dll. Biasanya jg sebatin yg diundang duduk bersama 2 raja jukkuannya di kebung tikhai putih.
2. WARNA KUNING, digunakan pada acara tayuhan raja jukkuan dr suatu kesebatinan. Warna kuning di letakan di ruang depan tamu2 undangan, sedangkan di ruangan dalam tmpt maju duduk memakai kebung tikhai putih. Yg menandakan hadirnya sebatin dan ratu dalam acara tsb. Disamping itu, digunakan kebungtikhai warna merah.
3. WARNA MERAH, digunakan oleh radin, minak dan lain2 pada acara adat lampung. Selain itu penggunaan kebung tikhai putih tdk digunakan, hanya ada kebung tikhai kuning di ruangan tengah tempat maju (pengantin) duduk. Hal ini menandakan hadirnya raja jukkuan di prosesi tsbt, krn merupakan anak buahnya. Sumber: iwatbatin.blogspot.com

12 KEBUAYAN DI LAMPUNG PESISIR BANDAR LIMA (CUKUH BALAK, WAY LIMA & GUNUNG ALIF)

Lampung Pesisir Pemanggilan Bandar Lima adalah lampung pesisir yang berasal dari 5 kebandaran di cukuhbalak yang keturunanya menyebar ke wilayah pedalaman yang sekarang meliputi kecamatan cukuh balak, limau, talang padang, kelumbayan, kelumbayan barat dan bulok (Tanggamus); pardasuka (Pringsewu); kedondong, way lima, sebagian gedung tataan, punduh pedada dan padang cermin (Pesawaran).
Nama kebuayan berasal dari kata “buay” yang artinya keturunan. Maksudnya adalah sebuah kelompok yang berasal dari satu keturunan (nenek moyang yang sama). Untuk lampung pesisir, nama buay biasanya identik dengan nama kebiasaan atau peristiwa yang dulu pernah terjadi di zaman nenek moyangnya, selain nama moyang buay tersebut. Seperti “buay semenguk”, karena dari cerita nenek moyangnya yang dulu telah membantu menyelamatkan seekor buaya. “Buay pemuka peliung”, karena dari cerita nenek moyangnya yang memiliki kebiasaan membawa priuk (tempat memasak nasi) sehingga dalam bahasa lampung disebut “peliung/beliuk/khayoh”. “Buay Kemincak”, karena dari cerita nenek moyangnya yang pandai mendatangkan hujan, seperti ibarat katak yang suka dengan air, dan cerita buay lainnya.
Menurut beberapa sumber terdapat 12 kebuayan di wilayah bandar lima (cukuhbalak), waylima dan gunung alif yg berasal dr 5 bandar, yaitu:
1. SEPUTIH, ada 5 buay yg merupakan keturunan buay semenguk dan buay lain yg masih dalam satu kerabat, yaitu: BUAY MUKHADATU/MIKHADATU (di waykanan disebut BARADATU), BUAY TAMBAKUKHA (merupakan saudara tiri paksi pak dari ibu buay tumi/semenguk), BUAY HULU DALUNG (buay ini masih kerabat buay semenguk yang berasal dari sungkai bunga mayang), BUAY HULU LUTUNG (saudara dari buay hulu dalung yang berasal dari komering), BUAY PEMUKA (ada yang menyebutkan berasal dari pubian menyerakat, tetapi ada yang menyebutkan dari waykanan yaitu buay pemuka bangsa raja).
2. SEBADAK, berasal dari BUAY TENGKLEK (keturunan BUAY SINDI /MESINDI/BESINDI dan saudara BUAY BINTANG di krui dan di sungkai).
3. SELIMAU, merupakan keturunan 3 saudara keturunan keratuan pugung yaitu kakhai handak, si agul-agul dan raja bungsu sakti dewa. Dimungkinkan masih kerabat dekat dgn keratuan BALAU di kedamaian. Terdapat 3 buay yaitu: BUAY TUNGAU, BUAY KHANDAU dan BUAY BABOK.
4. SEPERTIWI, terdapat satu buay yaitu BUAY SAKHA. Tidak terdapat keterangan yang pasti, tetapi dimungkinkan masih saudara BUAY AJI.
5. SEKELUMBAYAN, terdapat 2 buay yaitu: BUAY BENAWANG (Masih saudara buay semenguk, di liwa disebut BUAY BETAWANG) dan BUAY GAGILI (Masih keturunan keratuan BALAU di kedamaian, yg pindah ke penyandingan di wilayah kelumbayan, tetapi ada juga yang menyatakan berasal dari keturunan BALAU yang dulu masih di skala bekhak).
Demikianlah nama-nama 12 kebuayan yang ada di Bandakh Lima, tidak menutup kemungkinan masih ada buay-buay yang lain yang tidak dapat disebutkan satu persatu dikarenakan kekurangan data. Sumber: iwatbatin.blogspot.com

ADAT KEBANDAKHAN LAMPUNG PESISIR

Menurut cerita turun-temurun, nenek moyang orang Lampung Pesisir/Peminggir berasal dari Lemasa Kepampang Tanoh Unggak atau lebih dikenal dengan Kerajaan Sekala Bekhak yang terletak di lereng Gunung Pesagi.
Setelah kerajaan itu runtuh, mereka menyebar mencari tempat kehidupan yang layak bagi kelangsungan hidup keturunannya. Tempat yang mereka pilih adalah Muara sungai (Muakha) yang ada di tepi laut. Disana mereka mendirikan pemukiman baru dan membentuk sistem pemerintahan adat yang dikenal dengan Bandar (Bandakh).
Dalam sistem pemerintahan adat tersebut (Sebatin kebandakhan), dibagi dalam beberapa kelompok yaitu Suku Dilom (Gedung), Suku Kiri, Suku Kanan dan Suku Tanjakh (Tanjakh = Menyebar). Kepala adat sebatin kebandakhan bergelar Batin/Dalom/Pangeran/Sultan, tergantung lama berdirinya kesebatinan dan jumlah anak buah (jumlah sebatin bawahan).
Sebatin tersebut membawahi 4 suku (Dilom/Gedung, Kiri, Kanan dan Tanjakh) yang diberi gelar Raja (Khaja). Sedangkan seorang Raja didampingi oleh beberapa Raden (Khadin), Minak, Kimas dan Mas. Sedangkan untuk berdirinya kesebatinan baru (bawahan sebatin bandakh) yaitu berasal dari Suku Tanjakh. Suku Tanjakh merupakan suku yang jenjang permukimannya sudah menyebar kepedalaman (membuka lahan permukiman baru yang jauh dari pantai). Sehingga jika kita perhatinkan susunan jenjang permukiman masyarakat Lampung Pesisir akan berbentuk seperti cabang-cabang pohon yang dimulai dari muara sungai.
Kesebatinan yang berdiri didaerah pedalaman (jauh dari muara sungai) sebagian besar lebih muda umur kesebatinannya dari pada kesebatinan bandakh (sebatin bawahan). Mereka yang dipedalaman tidak lagi dikenal dengan Kesebatinan Bandakh, tetapi lebih dikenal dengan Kesebatinan Marga. Tetapi seiring berjalannya waktu pada jaman penjajahan Belanda, nama Kebandakhan sering diganti juga dengan nama Marga.
Sebagai contoh Kesebatinan Bandakh yaitu di daerah Cukuh Balak dan sekitarnya, dikenal dengan “Bandakh Lima” (terdapat 5 kesebatinan Badakh) yang terdiri dari Bandakh Limau, Bandakh Badak, Bandakh Putihdoh, Bandakh Pertiwi dan Bandakh Kelumbayan. Sebagian dari keturunannya menyebar ke daerah pedalaman seperti ke Talang Padang yang dikenal dengan nama “Marga Gunung Alip”; Bulok, Pardasuka, Kedondong, Way Lima dan Sebagian Gedong Tataan yang dikenal dengan nama “Kesatuan Adat Marga Way Lima”; dan Marga-marga lain di Punduh-Pidada dan Padang Cermin. Sehingga sampai saat ini didaerah marga tersebut dikenal nama Selimau, Sebadak, Seputih, Sepertiwi dan Sekelumbayan untuk mengingatkan asal usul mereka dari Cukuh Balak. Sumber: iwatbatin.blogspot.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar